
Surat Cinta untuk Guru
Sebagai Tanda Cinta & Bakti di Hari Guru Kepada: Ibu/Bapak Guru Tersayang,
Di hari yang bersejarah ini, izinkan saya yang selama ini hanya duduk diam di bangku, mencatat setiap kata-kata Ibu/Bapak berdiri sejenak, menarik napas dalam-dalam, lalu menyampaikan apa yang selama ini hanya berani tersimpan di antara lembar- lembar buku catatan: terima kasih, dan maaf, sekaligus aku cinta padamu.
Bukan cinta yang keliru,
melainkan cinta yang tumbuh dari rasa kagum:
Ketika
Ibu/Bapak membalikkan kapur di papan tulis, seolah membalikkan halaman masa
depan kami.Ketika suara Ibu/Bapak serak di tengah kelas, tapi tetap saja kami
mendengar ketulusan di setiap suku katanya.Ketika Ibu/Bapak
berdiri dari pukul
06.30, lalu pulang menjelang maghrib, dompet tipis, tas berat, tapi hati
tak pernah berhenti berapi-api.
Hari Guru ini, saya ingin mengakui:
Segala “Pak/Bu, saya nggak bisa” yang pernah saya ucapkan, sebenarnya
adalah “Pak/Bu, saya takut
gagal.”Segala alasan bolos
yang saya tulis,
sebenarnya adalah surat kecil berisi rasa tidak percaya
diri.Tapi Ibu/Bapak tetap menunggu, menepuk pundak, menyapukan kata: “Kamu
bisa, coba lagi.”Dan tiba-tiba dunia yang tadinah kelam jadi terang, seolah
Ibu/Bapak menyalakan lampu di sudut paling gelap hati saya.
Kini saya tahu:
Ilmu pengetahuan bisa kutemukan di Google, tapi arti “percaya diri” baru kutemukan di
kelas Ibu/Bapak.Rumus matematika bisa kuhafal, tapi rumus keberanian baru
kudapat ketika Ibu/Bapak menyuruhku maju ke depan.Sejarah dunia bisa kubaca,
tapi sejarah kebaikan baru kutulis
setiap hari karena
Ibu/Bapak menuliskannya dalam
tindakan.Jadi, di hari ini, saya tak ingin hanya membawa bunga atau
kartu yang bertuliskan “Selamat Hari Guru.”
Saya ingin membawa perjanjian:
Bahwa setiap kali saya menulis esai yang berapi-api, ada secercah suara
Ibu/Bapak di antara koma dan titiknya.Bahwa setiap kali saya berdiis di atas
mimpi, ada bekas tapak kaki Ibu/Bapak yang sudah lebih dulu membelah
rintangan.Bahwa suatu hari, ketika saya akhirnya menjadi
“seseorang”, saya akan kembali ke ruang ini, mengetuk pintu,
lalu berbisik:“Bu/Pak, muridmu yang dulu sering lupa bawa pensil ini,
kini membawa harapan—dan sedikit dari harapan itu berisi nama Ibu/Bapak.”
Terima
kasih telah menjadi lentera yang tak pernah padam, bahkan ketika angin
keputusasaan menerpa.Maaf atas segala bolos, keluh, dan tatapan kosong
yang pernah membuat Ibu/Bapak
kecewa.Aku cinta—ya, aku cinta—pada guru yang tak pernah lelah menanam benih
hari esok di tanah yang kadang tandus namanya “diriku dulu.”Semoga Tuas
membalikkan waktu sejenak, agar Ibu/Bapak bisa melihat:Betapa besar pohon
yang tumbuh dari biji yang pernah Ibu/Bapak
sirami dengan keringat
dan senyum.
Selamat Hari Guru.
Tulang-tulangku berdiri tegak
karena tulang punggungmu tak pernah bungkuk. Dengan cinta yang tak akan pernah
lulus dari hatiku,

Tidak ada komentar:
Posting Komentar