Sejarah korupsi di Indonesia telah mengakar sejak
terbentuknya pemerintahan Indonesia yang merdeka. Korupsi bukan hanya sekadar
permasalahan hukum, tetapi juga merupakan fenomena sosial, politik, dan budaya
yang kompleks. Buku ini membahas korupsi di Indonesia dengan menelusuri akar
masalah serta menawarkan solusi untuk mengatasinya. Salah satu akar masalah
korupsi yang masih berlangsung hingga kini adalah warisan budaya feodal yang
melekat dalam sistem pemerintahan. Dalam budaya feodal, hubungan antara atasan
dan bawahan sering kali didasarkan pada loyalitas pribadi, bukan pada prinsip
meritokrasi dan profesionalisme. Hal ini menyebabkan praktik Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme (KKN) terus berkembang dalam birokrasi.
Selain itu, sistem kekerabatan yang kuat dalam
masyarakat Indonesia juga menjadi faktor yang mendukung terjadinya korupsi.
Banyak jabatan penting dalam pemerintahan dan sektor swasta diberikan kepada
kerabat dekat atau orang-orang yang memiliki hubungan emosional, bukan
berdasarkan kompetensi dan integritas. Tradisi hadiah dan upeti yang telah lama
ada dalam budaya masyarakat juga menjadi faktor lain yang mempengaruhi tindakan
koruptif. Dalam banyak kasus, hadiah yang awalnya dimaksudkan sebagai tanda
penghormatan berubah menjadi alat untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau
fasilitas tertentu dari pejabat yang berwenang.
Dari sisi politik, sistem demokrasi seharusnya menjadi
benteng utama dalam mencegah dan memberantas korupsi. Dalam negara demokrasi,
terdapat mekanisme check and balance yang memungkinkan pengawasan terhadap
kekuasaan agar tidak disalahgunakan. Eksekutif tidak dapat bertindak
sewenang-wenang karena ada legislatif yang berfungsi sebagai pengawas dan
yudikatif yang menegakkan hukum. Selain itu, rakyat juga memiliki peran penting
dalam pengawasan melalui Pemilu serta peran aktif Civil Society Organization
(CSO) yang berfungsi sebagai kontrol sosial. Namun, dalam praktiknya, sistem
demokrasi di Indonesia masih diwarnai oleh berbagai tantangan, seperti politik
uang, lemahnya penegakan hukum, serta rendahnya partisipasi masyarakat dalam
mengawasi jalannya pemerintahan.
Dalam upaya memberantas korupsi, integritas menjadi
faktor kunci yang harus ditanamkan dalam setiap individu, terutama para
pemimpin dan pejabat publik. Pendekatan teori integritas menekankan karakter
kejujuran, akuntabilitas, konsistensi meskipun berisiko, serta keutuhan sikap
dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab. Tanpa adanya integritas yang kuat,
sistem demokrasi tetap rentan terhadap praktik korupsi. Oleh karena itu,
membangun budaya antikorupsi harus dimulai sejak dini melalui pendidikan yang
menanamkan nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab.
Buku Pendidikan Antikorupsi ini sangat penting bagi generasi muda Indonesia sebagai acuan dalam memahami bahaya korupsi serta menolak segala bentuk tindakan koruptif. Pendidikan antikorupsi tidak hanya bertujuan untuk memberikan pemahaman teoretis tentang korupsi, tetapi juga membentuk karakter yang berintegritas. Hal ini sejalan dengan gerakan pembentukan karakter dan akhlak yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dengan membekali generasi muda dengan pemahaman yang kuat tentang bahaya korupsi, diharapkan mereka dapat menjadi agen perubahan yang mendorong terciptanya pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel di masa depan.
kelompok 2 Kelas X PFL-2 : Meigi Dria Santoso/12,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar