Perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak hanya sampai pada proklamasi kemerdekaan saja. Dan faktanya pasca proklamasi kemerdekaan yang dilaksanakan pada 17 Agustus 1945, rakyat Indonesia belum sepenuhnya bebas dari ancaman penjajahan. Ancaman demi ancaman datang dari sekutu, Mereka menginginkan kembali kekuasaan Belanda di atas tanah Indonesia. Di Jawa Timur, tepatnya kota Surabaya, situasi terus saja memanas pada akhir Oktober 1945 yang pada akhirnya terjadilah sebuah peristiwa besar yang sampai saat ini dikenal dengan pertempuran 10 November. Di tengah huru-hara yang semakin memanas muncullah seorang pemuda ‘Sutomo’ atau yang lebih akrab dikenal sebagai ‘Bung Tomo’. Sosok pemuda yang dengan suara lantangnya dapat membakar semangat arek-arek Surabaya untuk tetap berjuang.
Bung Tomo bukanlah seorang panglima militer atau pun anggota dari pasukan bersenjata. Dengan saluran radio BPRI, bung Tomo menyampaikan pidatonya yang berapi-api dan membakar semangat. Kata-katanya yang penuh dengan keyakinan, membangkitkan rakyat untuk tidak menyerah meski yang mereka lawan adalah pasukan yang bersenjata lengkap. “MERDEKA ATAU MATI!” yang hadir bukan hanya sebagai slogan, namun panggilan untuk tetap menjaga harga diri bangsa.
Dalam sejarah pertempuran Indonesia, pertempuran 10 November menjadi salah satu pertempuran terbesar dalam sejarah. Bersama bung Tomo, salah satu tokoh yang mempersatukan rakyat Surabaya. Ribuan arek-arek Surabaya serta para pejuang dari berbagai daerah bersatu, melawan pasukan sekutu yang dilengkapi dengan senjata modern. Suaranya menjadi peluru yang dapat menembus rasa takut, mengubahnya menjadi suatu tekad yang besar dan membara. Semangat juangnya tak hanya berhenti pada masa perang tetapi menjadi sebuah warisan yang berharga untuk para generasi-generasi muda Indonesia.
Bung Tomo yang memiliki nama asli Sutomo lahir di Surabaya pada 3 Oktober 1920, dan wafat pada 7 Oktober 1981 di padang Arafah saat menunaikan ibadah haji. Meskipun bukan seorang prajurit militer, keberaniannya dalam memimpin perlawanan pembaca dikenal sebagai simbol perjuangan rakyat Surabaya. Bersama para arek-arek Surabaya yang terdiri dari pemuda, santri, dan rakyat biasa, pertempuran habis-habisan dilakukan di jalanan kota. Dengan taktik perlawanan arek-arek Surabaya terhadap pasukan sekutu pada pertempuran 10 November 1945 yang bersifat gerilya perkotaan dan memanfaatkan pengetahuan tentang Medan lokal.
Kini, semangat bung Tomo yang berapi-api belum padam, masih tetap menetap pada jiwa dan raga arek-arek Surabaya. Dan saat ini, kota ini dijuluki sebagai “Kota Pahlawan” atas penghormatan kepada para pejuang pertempuran 10 November. Hingga saat ini tanggal 10 November menjadi tanggal yang bersejarah, dan terus diperingati sebagai “Hari Pahlawan Nasional”. Semangat juang bung Tomo dan arek-arek Surabaya dapat diteladani oleh para generasi muda. Tidak dengan senjata, melainkan dengan keberanian, tekad dan kerja keras yang membara. Pidato yang dulunya menjadi oper yang membakar perlawanan, kini dapat menjadi api yang mendorong kemajuan dan kejayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar