Malam yang gelap dan dingin kian terganti oleh sinar matahari yang hangat nan cerah. Ayam-ayam berkokok, bagai sebuah alarm yang secara alami disediakan oleh Tuhan. Sera, seorang gadis remaja, terbangun dari mimpinya yang panjang. Dirinya bangkit dari tempat tidur, kakinya melangkah pelan menuju kamar mandi. Badannya yang masih setengah sadar terhuyung ke kanan ke kiri, meski begitu ia tidak sampai jatuh.
Deburan air terdengar, menandakan Sera yang saat ini sedang mandi. Di sudut rumah yang lain, terdengar pula suara heboh dari wajan dan spatula yang bergesekan. Ibu dari Sera, yang Sera panggil dengan sebutan mama, saat ini sedang bertempur di dapur untuk menyiapkan nasi goreng kesukaan anaknya, tak lain adalah Sera.
Sudah sekitar lima belas menit Sera mandi. Ia keluar dari kamar mandi dengan badan yang masih agak basah tentunya, menghampiri mamanya yang sedang memasak.
"Ma, papa mana?" ucap Sera membuka obrolan.
"Udah pergi tadi waktu kamu masih tidur," tanggap sang mama. "Kemana?"
"Mama juga nggak tahu, tadi papa kamu nggak bilang mau kemana."
Sera hanya ber-oh lalu pergi ke kamar untuk bersiap-siap.
Matahari mulai naik perlahan dan sinarnya mulai terasa panas. Jam yang sedari tadi berdetak sekarang menunjukkan pukul 06.47, tiga belas menit sebelum bel masuk. Sera menyambar tasnya lengkap dengan pelajaran yang
sudah ia siapkan sebelumnya. Dengan tergesa-gesa ia keluar hingga melewatkan sarapan.
"Sera, kamu nggak sarapan dulu?"
"Nggak, Ma, udah keburu telat ini." "Mama siapin bekal aja ya?"
"Nggak usah, Ma. Udah ah, aku mau berangkat dulu," ketus Sera sambil menjulurkan tangannya untuk salam.
"Ya sudah, hati-hati ya, nak. Meski telat jangan sampai ngebut di jalanan," nasihatnya. Tangannya dengan lembut terulur untuk mengelus kepala anak semata wayang kesayangannya itu.
Sera tidak merespon dan langsung berbalik badan meninggalkan mamanya. Dalam hati sang mama, ia merasa sedih karena anaknya tidak memakan atau setidaknya mencicipi masakan buatannya. Padahal, setiap ia membuat nasi goreng favoritnya, Sera tidak pernah melewatkan makan dan bahkan tidak sesekali Sera mengambil sampai dua piring penuh. Sedikit dramatis, namun memang sedih rasanya.
Di sisi lain, Sera dengan motor merahnya kini sibuk berkelok-kelok di tengah jalanan yang padat. Tangan kanannya dengan sangat tidak sabar ingin menambah kecepatan hingga atmosfer pun pecah karenanya.
"Tau gitu dari kemarin malam aja nyiapin pelajarannya," keluh Sera dalam monolognya. Ia merasa kesal karena mencari bukunya yang ia kira hilang namun nyatanya sedang dikumpulkan membuat dirinya membuang-buang waktu dan berakhir telat. Yang mana seharusnya pukul 06.35 ia sudah berangkat.
Setelah dengan susah payah ia keluar dari padatnya kendaraan, akhirnya ia keluar juga. Dengan cepat tangan kanannya menambah kecepatan hingga 80 kilometer per jam, kecepatan yang sebetulnya sangat tidak disarankan bila berada di jalan raya karena berbahaya.
Sekitar dua puluh meter di depan Sera adalah perempatan. Namun Sera tidak juga menurunkan kecepatannya itu. Lampu hijau yang sejak tadi menyala kini sudah habis waktunya dan berganti dengan lampu merah.
Tangan kiri Sera yang seharusnya digunakannya untuk mengerem tidak dapat berkutip.
Braak!
Memang, hari sial itu tidak ada di kalender. Motor Sera dengan bebas menerjang lampu merah dan berakhir bertabrakan dengan sebuah sebuah motor dari arah timur. Dengan kecepatan motor Sera yang tinggi membuat motor yang ditabraknya terbentur dengan sangat keras. Banyak bagian- bagian motor yang pecah dan terbang bebas di udara.
Tangan kanan Sera yang tidak juga melepas gasnya membuat motornya masih melaju dan menabrak pohon di depannya. Motor Sera mengalami kehancuran yang parah terutama bagian depan dan sampingnya. Meski Sera memakai helm, namun bukan berarti ia tidak mengalami luka. Kepalanya terbentur dengan batang pohon yang membuat darah bercucuran dari dahinya.
Dalam keadaan tragis ini, Sera tidak bisa menggerakkan tubuhnya satu inci pun. Akan tetapi, Sera masih bisa mendengar suara orang-orang yang berkerumun untuk menolongnya sebelum akhirnya ia menutup mata.
Satu hari, dua hari, tiga hari, dan genap empat hari telah berlalu, Sera tidak kunjung terbangun. Elektrokardiogram yang merekam detak jantung Sera
pun menunjukkan bahwa detak jantung Sera sangat lemah. Di samping tempatnya berbaring, mamanya dengan setia menunggu sang buah hati. Tangannya mengelus tangan Sera, berharap ia dapat merasakannya meski tidak bisa meresponnya.
Sudah berjam-jam sang mama menunggu Sera tanpa kenal lelah tanpa kepastian kapan anaknya akan siuman. Dalam sunyinya malam itu, tiba-tiba,
Niiiiiit
Elektrokardiogram Sera berbunyi dan menunjukkan garis lurus. Alat tersebut tidak menunjukkan adanya detak jantung Sera. Mama Sera dengan panik segera berlari memanggil dokter.
Tapi, nihil.
Sera menghembuskan napas terakhirnya sebelum dapat melihat sosok mamanya untuk yang terakhir kali. Mendengar hal itu, mamanya mengalami syok dan akhirnya pingsan tanpa sempat menangis.
Satu bulan berlalu, saat ini, dalam keheningan rumah yang sekarang hanya berpenghuni satu orang saja terasa sangat hampa dan sepi. Mama Sera setiap harinya hanya melamun dan berkeliling rumah tanpa alasan yang jelas. Dirinya juga sering berbicara sendiri di depan pintu, tempat Sera biasanya salam sebelum berangkat sekolah. Masyarakat sekitar menganggapnya sebagai orang gila sehingga ia sering diejek oleh anak-anak kecil. Tetapi, tak sedikit pula tetangga baik hati yang selalu menemani atau sekedar menanyakan kabar.
Bukan hal yang tabu memang bila seseorang mengalami gangguan mental terlebih saat kehilangan orang kesayangannya. Apalagi mama Sera sendiri sudah kehilangan buah hati dan suami tercintanya. Ya, selain Sera, ternyata korban dalam kecelakaan itu tak lain suaminya sendiri.
Saat hari kelulusan Sera dari Sekolah Menengah Pertama, ayahnya tidak bisa membelikannya hadiah yang berkesan untuknya. Akan tetapi, ia sudah berjanji akan membelikannya dilain waktu. Namun hal yang buruk terjadi saat sepulangnya sang ayah setelah mengambil pesanan di rumah temannya, sebuket bunga dengan foto-foto sang anak dengannya dan mamanya yang terkemas apik. Niat ingin memberikan kejutan untuk sang anak sepulang dari sekolah, namun belum tersampaikan. Dirinya meninggal di tempat dengan cedera yang parah. Buket bunga itu hancur beserta foto- fotonya.
Hari yang disangka akan menyenangkan berakhir menyedihkan. Yang seharusnya meninggalkan suka malah meninggalkan duka.
Dalam malam yang senyap, mama Sera sering menangis sendirian, tanpa teman, dan tanpa ada yang tahu. Mengingat bagaimana hari-hari yang ia jalani bersama suami dan putrinya membuat air mata tak henti-henti membasahi pipinya. Dalam dekapannya yang hangat, dipeluknya sebuah buket bunga dengan foto-foto sang anak, dirinya, dan suaminya yang terlihat rusak dan kotor. Beruntungnya saat itu ada orang yang mengambil buket itu dengan niat untuk diberikan kepada keluarga korban.
Tangisan histeris namun dalam diam memang menyakitkan. Ingin rasanya berteriak namun tidak ingin ada yang tahu.
Setiap harinya, tanpa jeda, sang mama terus memutar ulang memorinya bersama keluarga kecilnya. Yang berakhir membuat dirinya berhalusinasi dan lupa dengan kehidupan dan keadaannya sekarang ini, yang menjadi awal mula mengapa orang sekitar menyebutnya sebagai 'orang gila'.
Sebenarnya, ada kalanya ia waras dan menerima takdir yang menimpanya, meski dengan tangisan.
- Selesai -
Kontributor : Sovi Dwi Novalasari, Kelas X DPB-2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar