Indonesia adalah bangsa besar yang dibangun tidak hanya oleh kekuatan senjata, tetapi juga oleh kekuatan kata-kata. Dalam setiap lembar sejarah kemerdekaan, terdapat sosok-sosok pejuang yang berjuang dengan pikiran, tulisan, dan semangat mencerdaskan bangsanya. Salah satu pejuang lokal yang patut dikenang adalah Haji Agus Salim, tokoh Minangkabau yang tidak hanya dikenal sebagai diplomat ulung, tetapi juga sebagai jurnalis, penulis, dan penyebar pemikiran merdeka. Ia membuktikan bahwa literasi – kemampuan membaca, menulis, dan berpikir kritis – adalah senjata ampuh untuk melawan penjajahan.
Haji Agus Salim menggunakan pena dan pikirannya sebagai alat perjuangan. Ia menulis dalam berbagai surat kabar berbahasa Belanda dan Melayu, menyampaikan ide kemerdekaan, keadilan, dan pentingnya pendidikan. Dalam masa di mana rakyat banyak dibungkam, tulisan-tulisan beliau menjadi api penyulut semangat nasionalisme. Ia adalah simbol bahwa perjuangan tidak selalu berarti mengangkat senjata, tetapi bisa juga dengan menyebarkan gagasan yang mencerahkan.
Semangat ini tidak berhenti di masa kemerdekaan. Hari ini, di tengah tantangan digital dan kemerosotan budaya baca, muncul banyak “pejuang literasi” lokal yang melanjutkan perjuangan itu. Salah satunya adalah Muhammad Ridwan Alimuddin, pejuang literasi dari Sulawesi Barat yang mendirikan Perahu Pustaka – sebuah perpustakaan terapung yang mengantarkan buku ke pulau-pulau terpencil. Dengan perahu kayu sederhana, Ridwan membawa ratusan buku ke tangan anak-anak yang sebelumnya tak pernah mengenal bacaan. Ia membuktikan bahwa semangat literasi bisa mengubah masa depan, terutama bagi mereka yang terpinggirkan.
Gerakan literasi hari ini bukan sekadar mengajari orang membaca, tapi juga membangkitkan kesadaran, mendorong pemikiran kritis, dan membuka jalan menuju kehidupan yang lebih baik. Para pejuang literasi lokal, seperti Ridwan, mengikuti jejak para pahlawan terdahulu dengan cara yang sesuai zaman. Mereka menanamkan harapan lewat buku, membuka cakrawala lewat cerita, dan memerdekakan pikiran lewat aksara.
Literasi adalah pondasi bangsa. Di sekolah, di rumah, di desa maupun kota, gerakan literasi harus menjadi gerakan bersama. Meningkatkan minat baca, menciptakan ruang diskusi, dan membangun kebiasaan menulis adalah bentuk nyata dari melanjutkan perjuangan para pahlawan. Apalagi di era digital ini, informasi begitu mudah tersebar, namun tidak semua informasi mencerdaskan. Di sinilah pentingnya literasi digital dan kemampuan memilah informasi yang benar.
Sebagai generasi muda, kita semua bisa menjadi pejuang literasi. Menulis kisah lokal, membaca buku karya anak bangsa, atau menjadi relawan perpustakaan adalah bentuk sederhana namun berarti dalam meneruskan semangat kemerdekaan. Kita mungkin tidak hidup di zaman perang, tetapi kita hidup di zaman di mana ketidaktahuan dan disinformasi bisa menjadi ancaman baru.
Penutup
Kisah para pejuang lokal, dari Haji Agus Salim hingga Muhammad Ridwan Alimuddin, menunjukkan bahwa literasi bukan hanya urusan sekolah, tetapi juga perjuangan hidup. Dari zaman kemerdekaan hingga sekarang, satu hal yang tidak berubah: bangsa yang cerdas adalah bangsa yang merdeka. Maka, mari kita perjuangkan literasi, karena dari membaca dan menulis, lahirlah perubahan besar.
Kelompok 3 /Kelas X TO3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar