Sebelum abad ke-20, perjuangan melawan penjajah di Indonesia masih didominasi oleh perlawanan bersifat lokal atau kedaerahan. Masyarakat dan pemimpin setempat mengangkat senjata untuk mempertahankan wilayah, budaya, dan kedaulatan mereka dari ancaman penjajahan, terutama oleh Belanda melalui VOC dan kemudian Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Meskipun perjuangan tersebut belum bersifat nasional, namun semangat heroiknya menjadi warisan penting bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia di masa berikutnya.
Salah satu perjuangan awal yang penting adalah perlawanan Sultan Baabullah dari Ternate pada akhir abad ke-16. Setelah ayahnya, Sultan Hairun, dibunuh secara licik oleh Portugis pada tahun 1570, Baabullah memimpin rakyat Ternate untuk mengusir Portugis dari Maluku. Pada tahun 1575, ia berhasil merebut kembali Benteng Kastela di Ternate dan mengusir Portugis dari wilayah kekuasaannya. Ini menjadi salah satu contoh paling awal dari keberhasilan pengusiran penjajah oleh bangsa Indonesia.
Memasuki abad ke-17, muncul Sultan Agung dari Mataram yang berjuang melawan dominasi VOC di Pulau Jawa. Sultan Agung melihat kehadiran VOC di Batavia sebagai ancaman terhadap kekuasaan Mataram. Ia melancarkan dua kali serangan besar ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629. Meskipun kedua serangan ini mengalami kegagalan karena logistik dan kekuatan pertahanan VOC, perlawanan Sultan Agung memperlihatkan keberanian seorang raja Jawa dalam melawan kolonialisme asing.
Di Sulawesi Selatan, Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa juga melakukan perlawanan terhadap Belanda. Ia dikenal sebagai pemimpin yang menolak keras monopoli perdagangan yang diterapkan VOC. Perang besar antara Kerajaan Gowa dan VOC terjadi pada tahun 1666–1669. Meski akhirnya Belanda berhasil memaksa Gowa menandatangani Perjanjian Bongaya yang merugikan, semangat juang Sultan Hasanuddin membuatnya dikenang sebagai “Ayam Jantan dari Timur”.
Pada awal abad ke-19, terjadi Perang Padri di wilayah Minangkabau, Sumatra Barat. Perang ini bermula dari konflik internal antara Kaum Padri yang ingin menerapkan ajaran Islam secara murni dan Kaum Adat yang mempertahankan nilai-nilai adat Minangkabau. Belanda kemudian memanfaatkan konflik ini untuk memperluas kekuasaan mereka. Di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol, Kaum Padri melawan Belanda dalam perang yang berlangsung dari 1803 hingga 1837. Perlawanan ini berakhir setelah Imam Bonjol ditangkap dan diasingkan oleh Belanda.
Perjuangan yang tak kalah besar adalah Perang Diponegoro (1825–1830), yang dikenal juga sebagai Perang Jawa. Diponegoro, seorang pangeran dari Yogyakarta, menentang kebijakan Belanda yang semena-mena terhadap tanah dan rakyat, termasuk rencana pembangunan jalan yang melewati makam leluhurnya. Perang ini menjadi salah satu perang terbesar dalam sejarah kolonial Belanda, memakan banyak korban dari kedua belah pihak. Meskipun akhirnya Diponegoro ditangkap dengan tipu muslihat dan diasingkan ke Makassar, semangat perlawanan rakyat tetap menyala.
Di Kalimantan, terdapat pula perlawanan Pangeran Antasari yang menolak dominasi Belanda di Kesultanan Banjar. Ia memimpin perang sejak tahun 1859 hingga 1862. Antasari dikenal sebagai pemimpin yang tidak mau tunduk pada kekuasaan asing dan berjuang mempertahankan kehormatan kerajaan. Meskipun akhirnya ia gugur dalam pertempuran, perjuangannya diteruskan oleh rakyat Banjar dan dikenang sebagai pahlawan nasional Indonesia.
Salah satu perlawanan terpanjang terjadi di Aceh, dikenal sebagai Perang Aceh (1873–1904). Ketika Belanda mencoba menguasai Aceh setelah Perjanjian London 1871, rakyat Aceh melakukan perlawanan gigih. Tokoh-tokoh penting seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dien, dan Cut Meutia tampil sebagai pahlawan. Meskipun Teuku Umar gugur dan Cut Nyak Dien ditangkap serta diasingkan, semangat perjuangan mereka menjadi simbol keberanian perempuan dan laki-laki Aceh melawan kolonialisme.
Selain tokoh-tokoh besar, perjuangan sebelum abad ke-20 juga melibatkan rakyat biasa, para petani, ulama, dan bangsawan lokal. Mereka berjuang dengan alat-alat seadanya melawan pasukan kolonial yang jauh lebih modern dan terlatih. Faktor kekalahan mereka bukan karena kurang semangat, tetapi karena keterbatasan teknologi dan strategi militer, serta taktik Belanda yang kerap memecah-belah kekuatan rakyat melalui politik devide et impera (adu domba).
Walaupun hampir semua perlawanan bersifat lokal dan belum terkoordinasi secara nasional, mereka menunjukkan bahwa kesadaran akan pentingnya kebebasan dan harga diri bangsa sudah tumbuh sejak lama. Para perintis ini memang belum berhasil mengusir penjajah secara total, namun perjuangan mereka adalah fondasi penting bagi munculnya gerakan nasional pada awal abad ke-20, seperti Budi Utomo dan Sarekat Islam. Tanpa mereka, mungkin semangat nasionalisme Indonesia tidak akan terbentuk sekuat sekarang
KELAS: X- DPB – 2
ANGGOTA KELOMPOK 3:
RISKA AYU DEA PRATIWI (22)
ZAKIYYATUL MUNAWIROH (35)
REVANIA SEPTI RAMADHANI (20)
SILVIA JULIANTIKA NINGRUM (30)
LAVIRNA NAURA ASSYFA (06)
TIARA VARENNOLA PRIYANITA MARSELANDI (32)
SARIFATUL AMELIA PUTRI (27)
KEYLA NUR YULISTYA (01)
MEISYA PUTRI PRATAMA (09)
ZENIAR DEA ANDINI (36)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar