Di sebuah desa yang terletak
di pinggiran hutan, kehidupan yang damai tiba-tiba berubah drastis. Desa itu, yang bernama Kertosari, terkenal dengan kebun jagung yang subur dan
ladang padi yang sangat luas. Penduduknya hidup saling membantu,
menjaga tradisi, dan berbagi tawa. Namun, hari itu, langit desa mulai gelap,
bukan karena hujan, tetapi karena kabar buruk yang datang dari perbatasan.
Perang antara dua kelompok
besar yang selama
ini bertikai di luar desa akhirnya merembet
ke Kertosari. Pemerintah pusat
yang tak lagi mampu mengendalikan ketegangan antar masa mengeluarkan perintah
militer untuk mengambil alih wilayah-wilayah yang dianggap rawan. Desa
Kertosari, yang dulunya menjadi simbol kedamaian, kini berada di tengah pusaran
konflik.
Awan perang datang
begitu cepat. Pasukan dari dua kubu yang berbeda menduduki desa ini. Warga yang sebelumnya hidup dalam kedamaian
kini terbelah. Beberapa memilih untuk mendukung pasukan pemerintah, berharap mereka bisa
mengembalikan keadaan seperti semula. Sementara yang lain berpihak kepada
kelompok pemberontak, mereka percaya bahwa berjuang untuk keadilan dan
kebebasan yang seharusnya didapatkan oleh rakyat kecil.
Di tengah kekacauan itu, dua
sahabat lama, Andi dan Edo, mereka
berada di posisi
yang bertentangan. Andi, seorang
pemuda yang dulu bekerja di kebun jagung
ayahnya, kini mengenakan seragam pasukan
pemerintah. Edo, sahabatnya sejak kecil, memilih bergabung dengan pemberontak,
berharap bisa membebaskan desa dari kontrol militer yang ia anggap menindas.
“Andi, ini bukan jalan yang benar!”
kata Edo, berdiri
di hadapan sahabatnya yang kini terikat
dengan senjata dan perintah. Mereka bertemu di tengah desa yang mulai
hancur oleh bentrokan.
“Edo, aku tak punya pilihan!”
jawab Andi, suara
penuh ketegangan. “Kau tahu aku tak ingin semua ini. Tapi jika aku tidak ikut, siapa yang
akan melindungi desa ini dari kekacauan yang lebih besar?”
Edo tertawa
kecil. “Melindungi? Itu justru yang mereka buat. Mereka datang
dengan janji-janji kosong, tetapi yang mereka bawa hanya
lebih banyak darah dan air mata.”
Di tengah adu argumen
yang semakin memanas,
suara tembakan terdengar
dari kejauhan. Tanpa sadar,
keduanya saling menatap, menyadari bahwa kehidupan mereka tak lagi sama seperti
dulu. Mereka bukan lagi hanya dua anak muda yang bermain bola di sawah. Kini
mereka berada di sisi yang berbeda dari sebuah peperangan yang tak ada
ujungnya.
Konflik sosial di desa itu
semakin meluas. Warga yang dulunya bersatu kini terpecah. Mereka yang memilih
untuk tetap netral terjebak di antara dua kekuatan yang saling berbenturan.
Anak-anak terpaksa berhenti belajar,
petani tak bisa mengurus kebun jagung dan sawah mereka,
dan orang orang tua hanya
bisa menangis melihat kehancuran yang tak terelakkan.
Namun, di balik kekacauan itu, ada sebuah
kenyataan pahit yang mulai terbuka. Andi dan Edo, meskipun
berada di pihak yang berbeda, mereka sama-sama merasakan penderitaan yang sama.
Mereka kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Desa yang dulu begitu indah
kini hanya menyisakan reruntuhan dan kenangan. Pasukan pemerintah dan kelompok
pemberontak sama-sama membawa kedukaan bagi rakyat yang tak bersalah.
Suatu malam, saat pertempuran sedang memuncak, Andi dan Edo bertemu kembali, mereka berkumpul di tumpukan puing-puing rumah yang hancur. Tak ada lagi kata-kata keras atau sumpah
serapah. Hanya ada kesedihan yang tercermin di wajah mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar