PENERBIT : PT. KOMPAS
MEDIA NUSANTARA PENULIS : HENRY MANAMPING
TAHUN : 2019
BAHAGIA ALA STOA
Oleh: A. Setyo Wibowo
Filsuf di Medan Perang
Di sebuah perbatasan utara kekaisaran Romawi bernama Germania, pagi masih sangat gelap. Utusan tentara Romawi yang dikirim bernegosiasi dengan kaum Barbar pulang tanpa kepala. Kudanya kembali membawa utusan malang yang tinggal jasadnya. Jenderal Maximus (diperankan oleh Russell Crowel tidak melihat jalan lain kecuali menyiapkan ribuan legiun Romawinya untuk pertempuran tak terelakkan dengan kaum Barbar. Anak panah dan busurnya disiapkan, ketapel raksasa diisi bola api. Para prajurit infanteri merapatkan tameng, mengenggam erat tombak dan menghunus pedang pendek dari sarungnya. Usai memberi instruksi pada pasukan infanteri, Maximus naik kuda, bergerak memutar memimpin pasukan kavaleri untuk menyergap kaum Barbar dari belakang. Begitu aba-aba “serang” dikumandangkan, ribuan anak panah, ratusan bola api menyembur kaum Barbar yang memekik maju menyerang pasukan Romawi.
Dua bala tentara bertempur dalam gelapnya pagi buta, saling memotong, mengayunkan pedang, kapak, dan apa pun yang bisa membuat lawannya terjungkal mati. Maximus dengan ratusan pasukan kudanya menembus gelapnya hutan, menyerang kaum Barbar dari belakang. Taktik Supit Urang (jepitan udang) membuat kaum Barbar kacau dan habis dibantai legiun Romawi di perbatasan utara Imperium Romawi, di daerah Austria sekarang ini.
Dari kejauhan, di atas sebuah bukit kecil, duduk tenang di kudanya, dikelilingi pasukan Pretoria (penjaga Kaisar), Marcus Aurelius memperhatikan semuanya. Dialah yang memutuskan mengirim utusan untuk mencoba negosiasi dengan kaum Barbar. Sampai saat terakhir ia mengharapkan perdamaian dengan mereka. Namun, perang tak terelakkan. La hanya bisa menjalankan tugasnya sebagai Kaisar: memerintahkan Maximus melakukan apa yang terbaik untuk Roma.
FILSAFAT STOA RELEVAN?
Apa buktinya bahwa filsafat Stoa relevan? Apakah generasi milenial yang hidup dengan gadget dan media sosial masih perlu membaca filsafat? Untuk kita di zaman now, ajaran yang asal-usulnya sudah ribuan tahun bukankah sudah zadul?
Pertama-tama, kita jangan berasumsi buruk dulu pada filsafat. Bisa jadi kita memang belum pernah membaca filsafat? Bisa jadi kita salah belajar filsafat, atau salah mendapatkan guru filsafat, sehingga bukannya senang pada filsafat, kita malah jadi benci dan alergi pada filsafat. Filsafat Stoa berbeda, ia adalah sebuah way of life, jalan hidup. Bukankah kita sudah punya agama? Lha, apa salahnya
beragama sambil mempelajari filsafat supaya agama kita makin mantap?
Bagi para ahli filsafat Yunani dan Hellenistik, ajaran Platonisme, Aristotelisme, Sinisme, Epikurisme, dan filsafat Stoa sering disebut sebagai aliran-aliran yang mengajarkan jalan hidup. Mereka memang aliran filsafat, tetapi bukan dalam arti cara berpikir ruwet dan menjelimet serta tidak relevan dengan hidup sehari-hari. Way of life ini yang membantu Kaisar Marcus Aurelius menjalankan tugas-tugasnya sebagai penguasa
dengan baik. La dikenang sebagai “Kaisar Baik” terakhir di Imperium Romawi. La sangat memperhatikan warganya, hidupnya jauh dari hedonisme, dan dikenal sebagai penguasa yang adil dan penuh belas kasihan.
NAMA ANGGOTA KELOMPOK :
1. PRADITYA REZA N. ( 20 )2. RAPI K. ( 23
3. M. WARDANY ( 19 )
4. RENDY NUR J. ( 24 )
5. REVANO REGY P. ( 25 )

Tidak ada komentar:
Posting Komentar