Sabtu, 27 September 2025

Cerpen Sumpah Pemuda


Cerpen Sumpah Pemuda

Ketika mentari menampakkan dirinya dengan malu-malu di ufuk timur, aku pun segera terbangun dari tidur malamku yang nyenyak. Setelah itu, aku pun lekas makan dan mandi sebelum jam keberangkatan keretaku tiba. Segala perlengkapan yang telah kupersiapkan tadi malam pun sudah tersusun rapi di dalam mobil yang akan mengantarku ke stasiun.
“Hati-hati di jalan ya Nak, dan jaga dirimu selama di Magelang!” ucap mamaku memberi nasihat. Papaku pun turut memberi nasihat, “Ingat selalu berdoa, dan hanya 3 hari di sana ya Nak!”
“Siap Mama dan Papaku,” jawabku sambil mencium punggung tangan Mama dan Papaku bergantian. Aku pun melambaikan tanganku kepada Mama Papa sewaktu kereta akan berangkat meninggalkan stasiun Senen.

Sepanjang perjalanan, aku melihat segala pemandangan dari jendela kereta api yang mengantarku ke tempat tujuanku. Hari ini aku senang sekali karena akan kembali berjumpa dengan Cindy, Dinda dan Dini. Mereka adalah teman lamaku yang sudah 5 tahun tidak berjumpa.
Di Sekolah Dasarlah aku dipertemukan dengan mereka, dan sampai saat ini kami masih berteman baik. Namun, kami saling berpisah ke provinsi yang berbeda-beda setelah kami lulus dari Sekolah Dasar. Cindy yang kini tinggal di Padang, Dinda yang kini tinggal di Manado dan Dini yang kini tinggal di Magelang. Orang tua kami saling mengenal bahkan memiliki hubungan yang tidak kalah dekatnya, karena hal itulah kami sangat mudah untuk diberikan izin ke Magelang.-
Setiba di rumah Dini, aku melihat teman-temanku yang sudah berkumpul. Aku melambaikan tangan dan lekas berlari menghampiri mereka.
“Hai teman-teman aku rindu kalian,” tuturku sambil menangis karena rasa rindu yang mendalam. “Hai Jeslin kami juga rindu kamu, akhirnya kamu sampai juga,” tutur Dinda. Mereka kini saling berpelukan dan saling melepas rindu.
Selagi kami melepas rindu, Tante Amber datang menghampiri kami dengan senyum yang tampak di wajahnya. Kami pun langsung mencium punggung tangan Tante Amber dan mengatakan, “Hai Tante Amber, kami rindu Tante. Apa kabar Tan?”
“Hai anak-anak, Tante juga rindu kalian. Kabar Tante baik, bagaimana kabar kalian dan orang tua kalian di rumah?” tutur Tante Amber, mama Dini.
“Puji Tuhan, kami dan orang tua kami baik Tan,” jawab Jeslin. Dengan senyum yang lebar, Tante Amber pun menjawab “Syukurlah kalian beserta dengan orang tua sehat semua, oh ya mari masuk ke dalam anak-anak dan bereskan barang bawaan kalian! Tante yakin pasti banyak hal yang akan kalian ceritakan setelah ini.”

Kami pun bergegas membereskan barang bawaan kami ke kamar yang telah disediakan Tante Amber kepada kami. Setelah kami membereskan barang bawaan kami, Tante Amber mengajak kami untuk makan sore bersama di ruang makan.
“Wah mantap masakan Tante dari dulu tidak pernah berubah, selalu hadir dengan kelezatan yang maksimal. Iya kan teman-teman?” tutur Cindy, Dinda dan aku pun memberikan jari jempol kepada Tante Amber sebagai tanda setuju atas ucapan Cindy. “Ah kalian bisa saja,” jawab Tante Amber dengan malu-malu. Setelah makan sore kami pun berkumpul di ruang keluarga dan saling bercerita banyak hal. Tidak terasa kami bercerita cukup lama, sehingga langit sudah gelap yang menandakan hari sudah malam. Di sepanjang pembicaraan, kami saling bertukar cerita tentang kebudayaan yang berbeda dari tempat tinggal kami. “Wah ternyata di daerah kalian upacara adatnya masih sangat dilestarikan ya,” tuturku kagum.
“Iya Jes agar keturunan kita selanjutnya pun juga bisa melihatnya. Oh ya teman-teman, waktu sudah malam nih mari kita tidur untuk mempersiapkan stamina sebelum esok hari kita ke Borobudur,” tutur Dini.

Kami pun serentak mengucapkan, “Oke baiklah, selamat tidur semua.” Pagi pun tiba, di mana kami sedang sibuk mempersiapkan segala barang bawaan kami ebelum pergi ke Borobudur. Kami sangat berantusias pergi ke sana karena, candi Borobudur adalah salah satu peninggalan kerajaan Mataram Kuno, bahkan telah masuk ke dalam 10 keajaiban dunia. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya kami berbangga menjadi anak Indonesia.
Setelah semua siap, kami pun langsung masuk ke mobil yang akan dikendarai oleh Tante Amber. Tante Amber akan mengantar kami hingga ke candi Borobudur. Di sepanjang perjalanan kami bernyanyi dan bercanda ria bersama, hingga tidak terasa kami sudah hampir tiba di tujuan.
“Jaga diri baik-baik ya anak-anak, kalau butuh sesuatu telpon Tante saja,” tutur Tante Amber. “Oke Tante,” tutur kami serempak sambil mencium punggung tangan Tante Amber.Saat sampai, kami langsung mengambil foto bersama dengan candi Borobudur untuk dijadikan kenang-kenangan. Kami mengambil banyak jepretan sehingga kami lelah dan memutuskan untuk duduk lesehan bersama sambil makan tempe yang dibekali Tante Amber untuk kami.
“Latiah bana,” tutur Cindy spontan sambil mengusap keringat di jidatnya.
“Kamu ngomong apa Cin? Aku tidak mengerti bahasa Minang,” ucapku pada Cindy.
“Oh iya ya, kenapa aku menggunakan bahasa Minang? Maaf teman-teman, tadi itu artinya cukup melelahkan juga ya,” tutur Cindy menjelaskan pada kami.
“Oh iya memang melelahkan banget nih apa lagi panas terik begini,” jawab Dinda membenarkan ucapan Cindy.
“Teman-teman, sepertinya seru deh kalau kita menggunakan bahasa daerah masing-masing, jadi kita saling belajar,” usulku pada teman-teman.
“Oke, kalian da ba apa dang? Itu artinya kalian lagi apa?” tutur Dinda bertanya dengan bahasa Manado.
“Kita lagi mangan bareng kanca-kanca. Itu artinya kita lagi makan bersama teman-teman,” jawab Dini dengan bahasa Jawa.
“Gegares ape tu? Itu artinya makan apa tu?” tanyaku dengan bahasa Betawi.
“Kito sadang makan tempel, itu artinya kita sedang memakan tempe,” jelas Cindy dengan bahasa Minang.
Selagi kami berbincang dengan bahasa ibu, tiba-tiba ada turis wanita yang menghampiri kami. “Hai, kalian sedang apa? Bahasa apa yang kalian gunakan?” tutur turis itu dengan bahasa Indonesia yang belum terlalu lancar.

“Hai Kak, kami sedang berkumpul dan berbincang dengan menggunakan bahasa daerah kami, masing-masing” jawabku kepada turis itu. Turis itu tampak sedang mengetik kata-kata di aplikasi gadgetnya, ternyata dia menggunakan bantuan aplikasi untuk berkomunikasi dengan kami.
“Oh begitu, beragam juga ya bahasa daerah Indonesia. Teman-teman bolehkah aku bergabung?” tanya Kakak turis itu.
“Ya boleh kok Kak, sebelumnya perkenalkan namaku Dini dan ini teman-temanku bernama Cindy, Dinda dan Jeslin. Kakak namanya siapa?” tutur Dini memperkenalkan kami. “Namaku Caroline, senang berjumpa dengan kalian,” jawab Kak Caroline dengan senyum.

Selagi kami bercakap-cakap ria, datanglah 0m-om pada kami dan memberikan kami brosur lomba. Ternyata lomba itu diselenggarakan di dekat candi Borobudur ini. Di dalam brosur lomba tertera bahwa ini perlombaan bahasa daerah. Aku dan teman-temanku berantusias untuk mengikuti lomba tersebut, namun kami kekurangan 1 peserta. Akhirnya, kami memutuskan untuk mengajak Kak Caroline agar tim kami memiliki anggota yang pas sesuai ketentuan lomba.
“Kak, apakah Kakak mau bergabung di tim kami untuk mengikuti lomba bahasa daerah ini?” tanyaku pada Kak Caroline.
“Tetapi aku tidak mengerti macam-macam bahasa daerah Indonesia, bahasa Indonesia sendiri saja aku belum terlalu lancar,” tutur Kak Caroline dengan sedih. “Tidak masalah Kak, nanti kami akan bantu Kakak,” tutur Dinda.
“Iya Kak, sudah sepatutnya kami saling membantu antar anggota tim,” tutur Dini menjelaskan. “Oke baiklah aku mau ikut,” jawab Kak Caroline dengan senyum di bibirnya.

Kami pun mendaftar lomba itu, dan kami ditetapkan sebagai kelompok 3 dari 6 kelompok yang ada. Pastinya kami sangat gelisah selama perlombaan berlangsung. Ternyata perlombaan ini seperti kuis, dan kami diminta untuk menyebutkan nama-nama benda, hewan, buah, dan lainnya dengan bahasa daerah yang berbeda-beda. Tidak disangka ternyata kami masuk ke babak final, dan pada babak final ini kelompok kami diadu dengan kelompok 5. Terlihat dari masing-masing wajah kami menunjukkan kegelisahan, meski demikian kami saling menguatkan dan saling mendukung satu sama lain.
“Oke baiklah pada babak final ini kedua kelompok diminta menyebutkan 10 kalimat terima kasih dengan bahasa daerah yang berbeda selama 4 menit. Dimulai dari kelompok 3 dipersilahkan menyebutkannya,” tutur pembawa acara memberi arahan.
“Aduh aku tidak tahu ini teman-teman,” tutur Kak Caroline dengan gelisah.
“Tenang Kak, nanti kami saling bantu ya,” tutur Dini menenangkannya.
“Mauliate dari bahasa Batak,” jawabku.
“Tarimo kasih dari bahasa Minang,” jawab Cindy.
“Matur nuwun dari bahasa Jawa,” jawab Dini.
“Makase dari bahasa Manado,” jawab Dinda.
“Kak, Kakak ucap saja dangke dari bahasa Ambon,” bisikku memberi tahu Kak Caroline.
“Dangke dari bahasa Ambon,” jawab Kak Caroline dengan hati-hati.
“Amanai dari bahasa Papua,” jawabku.
“Kurrusumanga dari bahasa Toraja,” jawab Cindy.
“Matur suksma dari bahasa Bali,” jawab Dini.
“Empanggawang dari bahasa Maumere, Nusa Tenggara Timur,” jawab Dinda.
“Kakak ucap saja tampiaseh dari bahasa Nusa Tenggara Barat,” bisik Dinda membantu Kak Caroline.
“Tampiaseh dari Nusa Tenggara Barat,” jawab Kak Caroline dengan kembali hati-hati.
“Baiklah kelompok 3 sudah berhasil menyebutkan 10 kalimat terima kasih dari bahasa daerah yang berbeda. Kini kelompok 5 dipersilahkan menyebutkannya,” tutur pembawa acara.
“Duh teman-teman apakah kita akan menang?” ucap Cindy khawatir.
“Kita terus optimis ya teman-teman, serahkan semua pada Tuhan,” jawab Dinda menjelaskan dan pasrah akan kehendak-Nya.

Kami pun menunggu kelompok 5 melawati tantangan ini. Waktu sudah tersisa 10 detik namun, kelompok 5 masih menjawab 7 kata terima kasih. Jelas kami sangat gelisah apakah kelompok 5 dapat mengejar waktu yang tersisa atau tidak.
“Ya sayang sekali, kelompok 5 waktu sudah habis dan tim belum tuntas mengucapkan 10 kalimat terima kasih dalam bahasa daerah. Sehingga kini kita telah mendapatkan juaranya. Selamat kepada kelompok 3 yang telah menjuarai perlombaan ini. Untuk kelompok 3 diharap naik panggung untuk diberikan penghargaan,” tutur pembawa acara dengan antusias.
Kami sungguh tidak percaya, kami mengucap syukur kepada Tuhan dan berterima kasih atas kerja sama tim yang begitu baik sehingga kami memenangkan perlombaan ini.
Ketika kami menaiki panggung, kami masing-masing diberi hadiah baju kaus bertuliskan I Love Borobudur dan diberikan sertifikat beserta piala. Sungguh kami senang sekali dan kami pun berfoto bersama dengan menggunakan baju kaus tersebut.
“Teman-teman, sungguh aku berterima kasih atas pengalaman ini, sebelumnya aku tidak tahu bahasa daerah Indonesia yang sungguh sangat beragam. Namun kini aku mengetahuinya dan aku bersyukur dapat mempelajarinya melalui kalian dalam perlombaan ini. Kalian harus bangga menjadi anak Indonesia, negeri yang kaya ini” tutur Kak Caroline dengan meneteskan air mata.
“Iya Kak, kami juga berterima kasih karena kakak mau bekerja sama dengan kami. Tentu kami sangat bangga menjadi anak Indonesia. Oh iya Kak, mengingat sekarang sudah sore, izin kami untuk pulang dan berpisah. Ini nomor ponselku dan teman-teman, Kakak bisa menghubungi kami kapan saja agar kami dapat saling berhubungan. Jika Kakak ingin bertanya pada kami, janganlah sungkan Kak,” ucapku pada Kak Caroline.
“Oke baiklah, terima kasih teman-teman atas hari ini, aku tidaklah melupakan akan semua yang terjadi pada hari ini,” ucap Kak Caroline. Kami pun berpelukan sebelum berpisah.

Setiba di tempat parkir, kami sudah melihat Tante Amber yang sedang menunggu kami di mobilnya. “Loh anak-anak, kenapa kalian berempat memakai baju yang sama? Tante tidak dibelikan baju seperti itu ya?” tutur Tante Amber dengan sedih.
“Begini Tan, tadi kami mengikuti suatu perlombaan dan kami memenangkan perlombaan itu Tan. Ini sertifikat dan pialanya serta baju kaus yang kami gunakan sekarang sebagai hadiahnya,” tuturku menjelaskan kepada tante Amber. “Wah... selamat untuk kalian, Tante bangga pada kalian dan orang tua kalian di rumah pun pasti bangga juga,” tutur Tante Amber yang tidak kalah bahagianya
Di perjalanan menuju rumah Dini, kami menceritakan apa yang telah terjadi selama berjalannya perlombaan. Tante Amber mengatakan bahwa apa yang kami lakukan ini adalah tindakan terpuji, di mana kita memperkenalkan bahasa daerah Indonesia kepada orang asing. Dan Tante Amber berpesan untuk terus melestarikan budaya Indonesia, termasuk bahasa daerahnya.

Sesampainya kami di rumah Dini, kami langsung disambut dengan hidangan makan malam yang telah disiapkan Tante Amber. Kami pun memakan hidangan itu dengan nikmat. Pastinya kami akan rindu akan masakan Tante Amber yang memiliki cita rasa yang khas saat kami kembali ke tempat tinggal masing-masing. Jika mengingat tempat tinggal masing-masing, aku berpikir tidaklah terasa kami sudah 2 hari di Magelang. Dan esok hari kami kembali harus berpisah satu dengan yang lainnya.
“Teman-teman, esok hari kalian sudah harus kembali ke tempat tinggal kalian masing-masing. Tidak terasa ya hari begitu cepat, padahal aku belum puas loh akan pertemuan kita ini yang terbilang singkat,” tutur Dini sedih.
“Iya ya, aku juga belum puas liburan bersama kalian,” jawab Cindy sedih.
“Kita harus terus berkomunikasi ya, dan jangan saling melupakan meski terbentang jarak antara kita,” tuturku pun dengan sedih.
“Teman-teman, lebih baik sekarang kita tidur untuk kepulangan esok hari,” usul Dinda pada kami untuk menghindari topik tersebut. Akhirnya, kami pun mengikuti usulan Dinda untuk lekas tidur.

Ayam jantan pun telah berkokok di pagi hari yang telah membangunkan tidurku di sepanjang malam. Hari ini, aku dan teman-teman mempersiapkan kepulangan kami ke daerah masing-masing.
“Anak- anak bagaimana persiapan kalian?” tanya Tante Amber.
“Sudah siap Tan semuanya,” jawab Cindy.
“Baiklah, ingat ya anak-anak kalau sudah sampai kabarkan pada Tante! Kalau kalian mau main ke Magelang jangan sungkan untuk mengabari Tante. Sebelum berangkat ingat untuk berdoa dulu!” tutur Tante Amber dengan berbagai nasihat darinya.
“Siap Tan akan kami laksanakan,” jawabku sambil menunjukkan jempolku.
“Oh iya satu lagi, kalian harus terus saling berkomunikasi satu dengan yang lain. Titipkan salam dari Tante untuk orang tua kalian di rumah!” tutur Tante Amber pada kami. Setelah mendengar semua nasihat-nasihat Tante Amber, kami pun menjawab, “Baik Tante.”
Mobil yang akan mengantar kami ke stasiun dan bandara pun telah tiba. Sebelum pergi, kami berpelukan terlebih dahulu sebelum berpisah. Tampak air mata di pelupuk mata Dini dan Tante Amber. Aku, Dinda, dan Cindy pun bergegas masuk ke dalam mobil itu. Tidak lupa kami sambil melambaikan tangan sebagai salam perpisahan.
Sungguh ini berat untuk kami, kembali berpisah dan harus kembali ke daerah masing-masing. Aku tidak akan melupakan hal-hal yang telah terjadi di Magelang. Terutama aku tidak akan melupakan kejadian yang telah terjadi di Borobudur.
Kami memang berbeda asal, bahasa, budaya, dan adat istiadat. Namun, hal itu bukanlah menjadi halangan bagi kami untuk terus bersatu dalam perbedaan. Bahasa Indonesia telah mempersatukan perbedaan bahasa di antara kami, seperti poin ketiga dalam teks Sumpah Pemuda yang berbunyi “Kami putra putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”

Justru, perbedaan di antara kita ini sebagai pengikat, sehingga terbentuklah persatuan. Dengan sikap toleransi, saling menghargai dan menghormati inilah kita dapat semakin mempererat persatuan di antara keberagaman di Indonesia. Seperti semboyan bangsa Indonesia yaitu “Bhinneka Tunggal Ika” yang memiliki arti walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua

Tidak ada komentar:

LAPORAN KEGIATAN HARI ULANG TAHUN KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA KELAS XII KL 2 SMKN 1 WONOASRI

  LAPORAN   KEGIATAN HARI   ULANG   TAHUN   KEMERDEKAAN   REPUBLIK  INDONESIA KELAS   XII   KL   2   SMKN   1   WONOASRI Hari Ulang Tahun (...